SEJARAH
ILMU LADUNI
(Perjalanan Nabi Musa as mencari Nabi
Khidir as)
Buku ini ditulis oleh Muhammad Luthfi Ghozali dan
diterbitkan oleh penerbit Abshor, Semarang.
Perjalanan Nabi Musa as bersama Nabi Khidir as diulas
lengkap dalam buku ini. Dalam tulisan ini, saya menuliskan tiga tahapan
perjalanan seorang murid (Nabi Musa as) dalam mencari dan berguru kepada
seorang guru (Nabi Khidir as).
Perjalanan
Tahap I
Perjalanan tahap pertama ini merupakan tahap
pencarian seorang murid untuk menemukan guru pembimbing dalam rangka
meningkatkan kualitas ilmu yang sudah dimiliki. Tahap pertama ini seorang murid
harus mampu melaksanakan beberapa hal:
1. Niat
yang kuat dan bekal secukupnya
2. Perjalanan
mencari guru merupakan perjalanan dua dimensi ilmu pengetahuan. Ilmu Nabi Musa
as adalah ilmu syari’at dan ilmu Nabi Khidir as adalaha ilmu hakikat.
Perjalanan itu adalah bentuk pelaksanaan tarikat.
3. Ada
tempat pertemuan yang ditentukan
4. Memiliki
tujuan yang jelas
5. Keyakinan
bahwa sesungguhnya ilmu Nabi Musa as dan ilmu Nabi Khidir as hanya sebagian
kecil dari ilmu Allah Ta’ala Yang Maha Luas.
6. Fungsi
Nabi Khidir as adalah sebagai guru pembimbing (guru mursyid) supaya seorang
murid (Nabi Musa as) mendapatkan ilmu laduni yang diharapkan dari Tuhannya.
Perjalanan
Tahap II
Perjalanan tahap kedua adalah usaha seorang murid
untuk membangun komitmen (mubaya’ah) kepada guru mursyidnya. Janji seorang
murid di hadapan guru mursyidnya hanyalah pelaksanaan syari’at secara lahir,
sedangkan secara hakikat, sesungguhnya dia sedang berjanji kepada Allah Ta’ala
dengan saksi guru mursyidnya. Beberapa tahapan dalam perjalanan tahap kedua ini
diuraikan sebagai berikut.
1. Tata
cara pelaksanaan akhlaqul karimah Nabi Musa as kepada Nabi Khidir as sebagai
gurunya:
a.
Nabi Musa as menempatkan dirinya sebagai pengikut
dan memohon izin untuk dapat mengikuti Nabi Khidir as. “Hal attabi’uka” (bolehkah aku mengikutimu?).
b.
Nabi Musa as berkata,”Alaa antu’allimanii” (supaya engkau mengajariku ilmu). Sebuah
pernyataan dan pengakuan terhadap kebodohan diri atas ke’aliman seorang guru
yang diikuti.
c.
Nabi Musa as berkata,”Mimmaa ‘ullimta” (sebagian
dari apa yang sudah diajarkan kepadamu). Seakan-akan Nabi Musa as berkata aku
tidak mengharapkan engkau menjadikan aku sama ‘alimnya dengan dirimu, akan
tetapi yang aku harapkan darimu hanya sebagian dari ilmumu.
d.
“Mimma ‘ullimta rusydan”. Mengandung pengakuan
akan tingkat kualitas ilmu-ilmu yang dimiliki gurunya dan menunjukkan kebutuhan
dirinya akan kemanfaatan imu tersebut, yang demikian itu menjadikan hati
seorang guru tersanjung.
e.
Nabi Musa as berkata,”Hal attabi’uka ‘alaa
antu’allimanii” (bolehkan aku mengikutimu supaya engkau mengajarkan kepadaku
ilmu?). Merupakan kewajiban pertama bagi seorang murid adalah mengabdi kepada
guru mursyidnya baru kemudian mencari ilmu darinya.
2. Syarat
seorang murid mendapatkan ilmu dari gurunya adalah “sabar” terhadap yang
diperbuat oleh seorang guru. Sebagai tahapan ujian-ujian yang harus dijalani
kepada dirinya. Tidak ada yang mengetahui yang ghaib kecuali Allah, maka jalan
mencapai kesabaran itu hanyalah memohon pertolongan kepada Allah.
3. “Dan
aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu apapun”. Kesabaran seorang murid
menghadapi ujian-ujian yang diberikan seorang guru adalah hal yang wajib
dilakukan. Ini akan menentukan keberhasilannya dalam menuntut ilmu.
4. Jangan
meminta diterangkan rahasia-rahasia di balik ujian itu sebelum guru itu sendiri
yang memberitahukan kepadamu.
Perjalanan
Tahap III
Bahwa orang yang paling berilmu tinggi itu ialah
bilamana ia telah mampu menyampaikan ilmu orang lain ke dalam ilmunya sendiri
dengan harapan mendapatkan satu kalimat yang dapat mendatangkan petunjuk dan
hidayah Allah atau dapat menyelamatkan dirinya dari kehancuran.
Seorang murid mempelajari terlebih dahulu hikmah
perbuatan-perbuatan gurunya sebagai konsekwensi pelaksanaan “kesepakatan” yang
sudah disepakati, lebih-lebih perbuatan itu adalah perbuatan seorang guru yang
sedang melatih dirinya.
Ilmu syari’at adalah ibarat bibit tumbuhan,
pelaksanaan thariqah dan mujahadah ibarat menanam bibit-bibit dan menggarap
tanah, sedangkan ilmu laduni atau ma’rifatullah adalah buah yang setiap saat
dapat dipetik dari tanaman yang sudah tumbuh subur.
Orang yang mengenal dirinya sendiri, mengenal hak
dan kewajibannya sebagai seorang hamba yang harus mengabdi kepada Tuhannya,
mengenal kebutuhan hidupnya, mengenal tujuan hidup yang harus ditempuh dan
dijalani, mengenal harus bagaimana dan untuk apa hidup dan mati ini diciptakan,
mengenal tahapan-tahapan kehidupan yang sudah dan akan dijalani, maka
pelaksanaan thariqah, baik sebagai pelaksanaan ilmu dan iman maupun secara
kelompok adalah kewajiban dan sekaligus kebutuhan hidup yang harus dijalankan bagi
setiap individeu orang yang beriman, baik untuk keberhasilan hidupnya di dunia
maupun di akhirat. Orang yang demikian itu dinamakan orang yang “ma’rifatullah”.
Ma’rifat (mengenal) dirinya sendiri dan mengenal urusan Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda