GURU
DALAM TINTA EMAS
Kisah Guru
Istimewa
Penerbit Buku Kompas
Editor: Y Suhartono
Cetakan Juni 2005
Tak terasa setetes dua tetes air
mataku jatuh membasahi pipi ketika membaca lembar demi lembar buku ini.
Berbagai kisah pengabdian guru di negeri Indonesia tercinta. Dari kota hingga
pedalaman bahkan di daerah suku terasing. Terlalu luas negeri ini untuk
dijelajahi. Terlalu sempit pikiran kita apabila menilai suatu keikhlasan hanya
dari pamrih. Terlalu banyak air mata dan isakan yang terabaikan. Terlalu picik
bila kita hanya mementingkan diri sendiri.
Buku ini memuat kisah 45 orang guru.
Kisah-kisah ini pernah dimuat di harian Kompas dan dirangkum dalam sebuah buku.
Editor membagi buku ini menjadi enam bagian yaitu bagian satu, jerit
penderitaan; bagian dua, martabat bicara; bagian tiga, menyapa yang belum
beruntung; bagian empat, menggembleng diri; bagian lima, menemukan peluang;
bagian enam, pemegang tongkat kebenaran.
Setiap bagiannya memuat kisah
beberapa orang guru yang disesuaikan
dengan tema setiap bagiannya. Suatu kisah, seorang guru yang mengajar pada Suku
Anak Dalam, sebuah pengabdian seorang Saur Marlina Manurung yang ikhlas dan
penuh kesabaran membimbing anak-anak suku Anak Dalam agar dapat membaca,
menulis dan berhitung. Dimana sangat sedikit orang yang mampu bertahan di
daerah terpencil untuk menjadi seorang guru. Kisah yang lain yaitu keberanian
seorang Abdul Latif Hasyim yang berani menyuarakan kebenaran di daerahnya
tentang minimnya anggaran pendidikan di Kampar sehingga mendapatkan pengusiran
dari Bupati Jefri Noer dalam arena forum dialog pendidikan. Namun sang guru
tidak bersedia keluar ruangan dengan alasan dia diundang secara resmi untuk
bersama-sama memberi masukan demi perbaikan pendidikan di Kampar. Atas sikapnya
itu, seluruh guru dan pelajar di Kabupaten Kampar melakukan demonstrasi atas
sikap sang Bupati. Suatu kisah yang membangkitkan semangat kreatifitas datang
dari seorang Sirajuddin, Kepala Sekolah SD 43 Mataram yang menciptakan alat
peraga sederhana dalam pelajaran matematika. Dengan alat peraga tersebut, siswa
merasa sedang bermain sambil belajar. Alat peraga yang dinamakannya “arena kuda
loncat bilangan”. Tentu saja masih banyak kisah-kisah menggugah dan menyentuh
dari para guru dalam buku ini.
Buku yang dikemas dalam ukuran
perhalamannya ½ kwarto sangat praktis untuk dibawa ke mana-mana. Dengan jumlah
halaman 274, setebal 1 cm saja. Cocok dibaca sebagai bacaan di perjalanan, saat
senggang dan santai, juga di sela-sela rutinitas kerja. Desain cover yang
sederhana dengan warna hitam putih menunjukkan ketegasan atas sikap terhadap
kebenaran.
Membaca buku ini mengingatkan kembali
akan makna keikhlasan, kerja keras dan kejujuran. Ternyata masih banyak orang
baik, ikhlas dan jujur di negeri ini. Di tengah euforia tunjangan sertifikasi
guru, perbaikan nasib guru yang masih setengah hati, memaksa guru untuk
mengurus masalah administrasi belaka sehingga pikiran dan tenaganya tidak lagi
berfokus mendidik, membimbing dan mengajar siswa. Kreatifitas guru
terdegradasi. Namun buku ini memberikan bukti kepada kita bahwa masih banyak
guru yang berjiwa “guru” di negeri Indonesia ini. Memunculkan secercah harapan
untuk perbaikan pendidikan di Indonesia.
Akhirnya, buku ini sangat baik untuk
dibaca oleh stakeholder dibidang pendidikan agar tergugah untuk selalu
memperhatikan dan memperbaiki sistem pendidikan di negeri Indonesia ini.
Ditulis oleh Wahyu Falah
Staf Seksi Pemetaan Mutu dan Supervisi
Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan
Provinsi Sulawesi Tenggara
Maret 2012